PENDEKATAN ILMIAH POSITIVISTIK AUGUSTE COMTE
Pada abad ke-19 timbullah filsafat yang disebut Positivisme, yang diturunkan dari kata “positif”. Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Segala uraian dan persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif adalah segala yang tampak, segala gejala. Demikianlah positivisme membatasi filsafat danilmu pengetahuan kepada bidang gejala-gejala saja. Apa yang dapat kita lakukan ialah: segala fakta, yang menyajikan diri kepada kita sebagai penampakan atau gejala, kita terima seperti apa adanya. Sesudah itu kita berusaha untuk mengatur fakta-fakta tadi menurut hukum tertentu; akhirnya dengan berpangkal kepada hukum-hukum yang telah ditemukan tadi kita mencoba melihat ke masa depan, ke apa yang akan tampak sebagai gejala dan menyesuaikan diri dengannya. Arti segala ilmu pengetahuan ialah; mengetahui untuk dapat melihat ke masa depan. Jadi kita hanya dapat menyatakan atau mengkonstatir fakta-faktanya, dan menyelidiki hubungan-hubungannya yang satu dengan yang lain. Maka tiada gunanya untuk menanyakan kepada hakekatnya atau kepada sebab-sebab yang sebenarnya dari gejala-gejala itu. Yang harus diusahakan orang ialah menentukan syarat-syarat di mana fakta-fakta tertentu tampil dan menghubungkan fakta-fakta itu menurut persamaannya dan urutannya. Hubungan yang tetap yang tampak dalam persamaan itu disebut “pengertian”, sedangkan hubungan-hubungan tetap yang tampak pada urutannya disebut “hukum-hukum”. (Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980, hal. 109).
Positivisme sekarang merupakan suatu istilah umum untuk posisi filosofis yang menekankan aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Dan umumnya positivisme berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan faktual pada suatu landasan pencerapan (sensasi). Atau, dengan kata lain, positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau metafisik. (Bagus, Lorens,Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2002, hal. 858).
Positivisme tampil sebagai jawaban terhadap ketidakmampuan filsafat spekulatif (misalnya, Idealisme Jerman Klasik) untuk memecahkan masalah filosofis yang muncul sebagai suatu akibat dari perkembangan ilmu. Kaum positivis menolak spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan. Positivisme menyatakan salah dan tak bermakna semua masalah, konsep dan proposisi dari filsafat tradisional tentang ada, substansi, sebab, dan sebagainya, yang tidak dapat dipecahkan atau diverifikasi oleh pengalaman yang berkaitan dengan suatu tingkat yang tinggi dari alam abstrak. Ia menyatakan dirinya sebagai suatu filsafat non-metafisik, yang sama sekali baru, yang dibentuk berdasarkan ilmu-ilmu empiris dan menyediakan metodologi bagi ilmu-ilmu tersebut. (idem).
Aliran filsafat ini ditandai dengan pendewaan ilmu dan metode ilmiah. Pada versi-versi awalnya, metode-metode ilmiah dianggap berpotensi tidak saja memperbarui filsafat, tetapi juga masyarakat.
Pada hakikatnya, positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim; karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Positivisme tidak luput dari nasib filsafat tradisional. Karena, proposisi-proposisinya sendiri (penolakan spekulasi, fenomenalisme, dan sebagainya) beralih menjadi tidak dapat diverifikasi dengan pengalaman dan, akibatnya bersifat metafisik. (idem).
Kesamaan positivisme dengan empirisme seperti yang timbul di Inggris, terdapat di dalam hal ini, bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya terletak di sini, bahwa positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman obyektif, tetapi empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau penglaman-pengalaman yang subyektif. (op.cit, hal. 110).
Jasa Comte terletak di sini, bahwa ialah yang menciptakan ilmu sosiologi dan penguraian sejarah Perancis. Di bidang filsafat pengaruhnya yang terbesar terdapat di Inggris.
Seluruh keadaan di Inggris, baik yang mengenai watak maupun yang mengenai cara berfikir orang Inggris, seolah-olah mewujudkan persiapan yang baik bagi penaburan filsafat Comte. Jalan pemikiran orang Inggris sejak akhir abad pertengahan hingga Hume dikuasai oleh empirisme, dan orang Inggris memang tidak suka akan pemikiran yang metafisis. Seluruh perhatiannya dicurahkan kepada hal-hal yang nyata, yang dihadapi sehari-hari.
Filsafat positivisme diantarkan oleh August Comte. August Comte (1798-1857) dilahirkan di Montpellier, Perancis. Ia menjadi pemimpin positivisme Perancis, dengan tekanannya kepada penyelidikan obyektif bagi segala fenomena. Pada umur belasan tahun ia menolak beberapa adat kebiasaan keluarganya, antara lain kesalehannya dalam agama Katolik serta dukungannya terhadap kebangsawanan. Ia belajar di sekolah politeknik di Paris, dan menunjukkan keunggulannya dalam matematika dan sains. Tetapi ia dikeluarkan dari sekolah pada tahun 1816 karena ikut serta dalam gerakan pembangkangan mahasiswa. Ia tetap di Paris dan meneruskan penyelidikannya dalam sains, ekonomi, sejarah dan filsafat. Ia mengembangkan pengetahuan baru tentang manusia yang ia namakan “Sosiologi”. Ia berusaha menemukan hukum yang mengatur perkembangan akal dan menjelaskan fenomena sosial. (Titus, Harold, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hal. 364).
Peranan August Comte (1798-1857) sangat penting dalam aliran positivistis. Istilah “positivisme” ia populerkan. Ia menjelaskan perkembangan pemikiran manusia dalam kerangka tiga tahap. Pertama, tahap teologis. Di sini, peristiwa-peristiwa dalam alam dijelaskan dengan istilah-istilah kehendak atau tingkah dewa-dewi. Kedua, tahap metafisik. Di sini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui hukum-hukum umum tentang alam. Dan ketiga, tahap positif. Di sini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan secara ilmiah. (Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2002, hal. 864)
Beberapa ajaran pokok Comte:
1. Hukum Tiga Tahap (The Law of Three Stages). Sejarah pemikiran dapat dilihat sebagai evolusi yang tak terhindarkan, yang terdiri dari tiga tahap utama:
a) Tahap teologis: selama tahap ini yang dominan adalah penjelasan-penjelasan antropomorfis dan animistis mengenai realitas yang berkaitan dengan kehendak (ego, roh, jiwa) yang memiliki dorongan, hasrat, kebutuhan;
b) Tahap metafisik: selama tahap ini kehendak dari tahap pertama didepersonalisasi, dijadikan abstraksi dan diperbendakan sebagai entitas seperti: kekuatan, sebab, esensi;
c) Tahap positif: dalam tahap ini bentuk pengetahuan tertinggi dicapai dengan melukiskan hubungan-hubungan di antara gejala-gejala dengan peristilahan seperti: suksesi, keserupaan, koeksistensi. Tahap positif dicirikan, dalam penjelasannya, dengan matematika, logika, pengamatan, percobaan, kontrol.
Setiap tahap perkembangan pikiran ini mempunyai korelasi sosial, ekonomi, dan kultural yang berkaitan. Tahap teologis pada hakikatnya otoriter dan militeristik. Tahap metafisik pada prinsipnya bersifat legal dan amat terkait dengan institusi keagamaan. Sedangkan tahap positif merupakan tahap yang ditandai oleh kegiatan teknologis dan industrial. Sebagaimana tahap-tahap ini berubah demikian juga segi-segi korelasinya.
2. Kemajuan penyempurnaan lingkaran evolusioner Tiga Tahap, tidak dapat dielakkan.
3. Ilmu-ilmu merupakan kesatuan menyeluruh, tetapi dalam tahap-tahap yang berbeda dari perkembangan itu. Ilmu-ilmu itu juga terkait dalam suatu tata ketergantungan yang hierarkis; misalnya, astronomi harus berkembang sebelum fisika dapat menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan dengan haknya sendiri; biologi harus mencapai titik kecanggihan tertentu sebelum ilmu kimia dapat memulai perkembangannya.
4. Realitas dapat dimengerti berkat konsep dasar seperti: kesatuan organis, tata, kemajuan, suksesi, keserupaan, relasi, kegunaan, reailtas, gerakan, pengarahan.
5. Bentuk tertinggi agama dalam evolusinya ialah agama kemanusiaan atau rasio universal (sama sekali tanpa kaitan dengan Allah).(idem, hal. 865-866).
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 tahap atau 3 Zaman, yaitu: zaman teologis, zaman metafisis dan zaman ilmiah atau zaman positif. Perkembangan yang demikian itu berlaku baik bagi perkembangan pemikiran perorangan, maupun bagi perkembangan pemikiran seluruh umat manusia.
1) Pada zaman atau tahap teologis orang mengarahkan rohnya kepada hakekat “batiniah” segala sesuatu, kepada “sebab pertama” dan “tujuan terakhir” segala sesuatu. Jadi orang masih percaya kepada kemungkinan adanya pengetahuan atau pengenalan yang mutlak. Oleh karena itu orang berusaha memilikinya. Orang yakin, bahwa di belakang tiap kejadian tersirat suatu pernyataan kehendak yang secara khusus. Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi 3 tahap, yaitu: a) tahap yang paling bersahaja atau primitif, ketika orang menganggap, bahwa segala benda berjiwa (animisme); b) tahap ketika orang menurunkan kelompok-kelompok hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatarbelakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri (politeisme); c) tahap yang tertinggi, ketika orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi, yaitu dalam monoteisme.
2) Zaman yang kedua, yaitu zaman metafisika, sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman teologis. Sebab kekuatan-kekuatan yang adikodrati atau dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-pengertian atau dengan pengada-ada yang lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam suatu yang bersifat umum, yang disebut alam, dan yang dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus.
3) Zaman positif adalah zaman ketika orang tahu, bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan mutlak, baik pengenalan teologis, maupun pengenalan metafisis. Ia tidak lagi mau melacak asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau yang disajikan kepadanya, yaitu dengan pengamatan dan dengan memakai akalnya. Pada zaman ini pengertian “menerangkan” berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta yang umum. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai, bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja (umpamanya: gaya berat). (Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980, hal. 110-111).
Seperti yang telah dikemukakan di atas, hukum dalam tiga zaman atau tiga tahap ini bukan hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap orang sendiri-sendiri. Umpamanya: sebagai kanak-kanak orang adalah seorang teolog, sebagai pemuda ia menjadi seorang metafisikus dan sebagai orang dewasa ia adalah seorang fisikus.
Di samping itu hukum dalam 3 zaman juga berlaku di bidang ilmu pengetahuan sendiri. Segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikeruhkan oleh pemikiran metafisis, dan akhirnya tiba di zaman hukum-hukum positif yang cerah.
Mengenai ilmu pengetahuan diajarkan demikian, bahwa pengaturan ilmu pengetahuan yang berarti harus disesuaikan dengan pembagian kawasan gejala-gejala atau penampakan-penampakan yang dipelajari ilmu itu.
Segala gejala yang dapat diamati hanya dapat dikelompokkan dalam beberapa pengertian dasar saja. Pengelompokkan itu dapat dilakukan sedemikian rupa, sehingga penelitian tiap kelompok dapat menjadi dasar bagi penelitian kelompok selanjutnya. Urutan kelompok-kelompok itu ditentukan oleh tingkatan sifat tunggal atau oleh tingkatan sifat umumnya. Gejala yang sifatnya umum adalah gejala yang paling sederhana, karena gejala inilah yang paling tidak memiliki kekhususan hal-hal yang individual.
Comte membagi-bagikan segala gejala pertama-tama dalam gejala-gejala yang terdapat dalam segala yang anargonis, dan baru kemudian gejala-gejala yang terdapat dalam segala yang organis. Segala gejala yang organis baru dapat dipelajari, jikalau segala yang anorganis telah dikenal. Hal ini disebabkan karena di dalam makhluk yang hidup terdapat segala proses mekanis dan kimiawi dari alam yang anorganis itu dan juga terdapat hal-hal yang lain, yang lebih daripada itu.
Ajaran tentang segala sesuatu yang anorganis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: astronomi, yang mempelajari segala gejala umum dari jagat raya; dan fisika serta kimia, yang mempelajari gejala-gejala anorganis di bumi. Pengetahuan tentang fisika harus didahulukan, sebab proses-proses kimiawi lebih rumit dibanding dengan proses alamiah dan tergantung daripada proses alamiah.
Ajaran tentang segala yang organis juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu: proses-proses yang berlangsung pada individu-individu dan proses-proses yang berlangsung dalam jenisnya, yang lebih rumit. Oleh karena itu ilmu yang harus diusahakan di sini adalah biologi, yang menyelidiki proses-proses dalam individu; kemudian menyusul ilmu sosiologi, yang menyelidiki gejala-gejala dalam hidup kemasyarakatan. (ilmu ini untuk pertama kali disusun oleh Comte. Juga sebutan “sosiologi” adalah hasil ciptaannya). Demikianlah sosiologi menjadi puncak bangunan ilmu pengetahuan. Tetapi ilmu ini baru dapat berkembang jikalau segala ilmu yang mendahuluinya telah mencapai kedewasaannya. (ibid., hal 112)
Timbullah pertanyaan, bagaimana kedudukan ilmu pasti dan psikologi?
Menurut Comte ilmu pasti adalah dasar segala filsafat. Dalam hal ini ia setuju dengan Descartes dan Newton. Hal ini disebabkan karena ilmu pasti memiliki dalil-dalil yang paling bersifat umum, yang paling sederhana dan paling abstrak. Oleh karena itu juga ilmu yang paling bebas.
Psikologi tidak diberi tempat dalam sistem Comte. Hal ini disebabkan karena, menurut dia, manusia tidak dapat menyelidiki dirinya sendiri. Barangkali orang masih dapat menyelidiki nafsu-nafsunya, karena nafsu tidak berada di dalam pikiran.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka deretan ilmu pengetahuan adalah demikian: ilmu pasti, astronomi, fisika, kimia, biologi dan sosiologi.
Ajaran Comte tentang masyarakat sekaligus mewujudkan suatu filsafat tentang sejarah. Perhatikan, bahwa ajaran Comte tentang 3 zaman itu secara formal sejenis dengan dialektika Hegel. Sama seperti Hegel, Comte memeriksa banyak sekali fakta-fakta sejarah serta menggabungkannya menjadi suatu sistem. Ke dalam filsafat sejarah itu dimasukkan perkembangan kenegaraan, kehakiman dan kemasyarakatan, juga perkembangan kesenian agama, ilmu dan filsafat. Di sinilah Comte melebihi Hegel. Di mana-mana ditemukannya hukum tentang 3 tahap. Tiap tahap sesuai dengan suatu bentuk masyarakat tertentu. Umpamanya: pada zaman teologi di bidang sosial terdapat kepercayaan kepada hukum ilahi, sedang di bidang pemerintahan terdapat bentuk feodalisme. (ibid., hal. 113)
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat 2. Yogyakarta: Kanisius
Titus, Harold, dkk. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang